Setelah mengayuh sepeda ontel dengan jarak tempuh 0,5 Km, sampailah Lufi dan ayahnya di sebuah sekolah yang tidak begitu terkenal dan muridnya pun tidak begitu banyak. Sebuah sekolah yang terletak di pinggiran kampung yang dikelilingi oleh hamparan sawah yang luas, terlihat di halaman depan sekolah itu terpancang satu papan nama yang sudah lapuk dimakan oleh rayap, pada papan tersebut tertulis SDN 4
Meureudu. Itulah sekolah yang akan menjadi tempat Lufi menuntut ilmu. Orang tuanya tidak mau mendaftarkan Lufi di sekolah yang dekat rumahnya tetapi Lufi didaftarkan di sekolah yang agak jauh dengan rumahnya. Itu sengaja dilakukan biar Lufi bisa serius dalam belajar dan tidak cepat-cepat pulang ke rumah.
Begitu sampai di sekolah, ayah Lufi langsung menuju ke ruang guru yang berukuran 9x 8 meter.
“Assalamu’alaikum…”ayah Lufi mengucapkan salam kepada dewan guru yang berada di dalam ruangan, guru-guru yang di dalam pun serentak menjawab:
“Walaikumsalam,,,”
“masuk Pak..ada yang bisa kami bantu??” sambung salah satu guru yang mau melayani keperluan Lufi datang ke sekolah itu.
“tempat pendaftaran murid baru dimana Bu..??” tanya ayah Lufi pada guru tersebut.
“Oo…pendaftaranya sudah ditutup, tapi bapak masuk saja ke ruangan sebelah, nanti bapak akan berjumpa sama Pak Ahmad” jawab guru itu sambil menunjukkan ruang di sebelah kirinya.
Mereka pun bergegas menuju ke ruangan sebelah, di sana sudah terlihat seorang bapak-bapak yang berambut putih, kepalanya sudah sedikit botak di bagian depannya dan memakai kacamata. Bapak itu lagi mendata murid-murid baru di buku induk sekolah, rupanya Pak Ahmad adalah ketua panitia penerimaan murid baru di sekolah tersebut. Langsung saja mereka mengucapkan salam pada Pak Ahmad:
“Assalamu’alaikum…”
“Walaikumsalam…silahkan masuk” jawab Pak Ahmad sambil mempersilahkan mereka masuk ke dalam.
Sepertinya Pak Ahmad sudah mengetahui maksud kedatangan mereka ke ruangnya.
“mau mendaftarkan anaknya di sekolah ini ya Pak??” tanya Pak Ahmad pada ayah Lufi yang sedang duduk di depan mejanya.
“iya,,,saya ingin mendaftarkan Lufi di sekolah ini” jawab ayah Lufi dengan suara sedikit agak tertahan.
“pendaftarannya sudah ditutup seminggu yang lalu, saat ini bahkan proses belajar mengajarnya sudah berlangsung, tapi tidak apa-apa anak bapak tetap bisa sekolah di sini” begitulah jawab Pak Ahmad beserta sedikit penjelasannya kepada ayah Lufi.
“nama anaknya siapa pak??” tanya Pak Ahmad lagi sambil melihat ke arah Lufi lewat celah-celah kacamatanya.
“namanya Lufias…”jawab ayah Lufi dengan penuh harapan supaya Lufi bisa sekolah di situ.
Proses pendaftarannya pun tidak begitu lama, Pak Ahmad hanya mengisi biodata Lufi di buku induk sekolah. Karena sudah telat mendaftar, langsung saja Pak Ahmad mengantar Lufi di kelas yang paling ujung yaitu kelas I di ikuti oleh ayahnya di belakang. Sesampai di depan pintu kelas, wajah Lufi terlihat sedikit murung, tidak jelas kenapa pada hari itu dia tidak terlihat ceria. Ternyata pas sekali, yang sedang mengajar saat itu adalah ibu wali kelas pada kelas I yaitu Ibu Marlina.
“Assalamu’alaikum…permisi sebentar Bu” begitu Pak Ahmad memberi salam kepada Ibu Marlina dan meminta permisi sebentar.
“Walaikumsalam,,iya Pak kenapa?” jawab Ibu Marlina tersebut sambil bertanya ada apa beliau dipanggil.
“ini ada murid baru,,tolong disediakan kursi biar dia bisa belajar” sambung Pak Ahmad sambil membelai kepala Lufi.
Setelah menyerahkan Lufi kepada wali kelasnya, Pak Ahmad langsung kembali ke kantornya, sedangkan ayah Lufi juga mau berpamitan pulang. Dengan seketika Lufi bertanya:
“ayah mau kemana?” wajah Lufi terlihat begitu murung.
“ayah mau pulang nak…kerjaan di sawah masih banyak” jawab sang ayah sambil menoleh ke arah Lufi.
“kalau ayah pulang, Lufi juga akan pulang,…Lufi ga mau di sini” jawab Lufi dengan perasaan sedikit emosi.
“ya sudah…ayah akan di sini sampai Lufi pulang sekolah” jawab ayahnya sambil membujuk Lufi agar masuk ke ruangan kelas.
Di dalam rungan, Lufi disuruh duduk di meja paling depan bersama seorang murid laki-laki yang sudah lebih duluan sekolah daripada Lufi. Aldin, itulah kawan pertama Lufi di sekolah. Di belakang Lufi ada Makmur bersama Munzir, Surya bersama Nawar dan paling belakang sekali terlihat laki-laki kerdil yang berkulit hitam manis, itulah Munir yang terlihat sibuk dengan buku coretannya. Di sebelah kanan berjejer bangku murid perempuan, paling depan ada Anita dengan Nazira, di belakangnya ada Munira dengan Lina, dan di bagian paling belakang sekali ada Miftah. Walupun sudah di kelas, wajah Lufi tetap terlihat murung, sampai-sampai Aldin kawan di sampingnya sesekali mencoba menghiburnya dengan beberapa lagu yang sering dinyanyikan oleh anak-anak sebayanya ditingkat SD.
Potong bebek angsa, masak di kuali…Nona minta dansa, dansa empat kali…Dorong ke kiri, dorong ke kananLa..la..la..la..la..Begitulah bait lagu yang sering dinyanyikan oleh Aldin untuk membuat Lufi tidak murung lagi. Aldin lah yang pertama memperkenalkan lagu Potong Bebek Angsa pada Lufi. Saat dia menyanyikannya, Lufi terlihat sudah sedikit agak ceria, sepertinya Lufi mau diajari lagu itu oleh Aldin.
“kamu jangan cemberut lagi ya,,,nanti aku ajari lagu potong bebek angsa” begitulah bujuk Aldin untuk membuat Lufi ceria.
Senyum lebar pun terlihat dari wajah Lufi, sambil menjawab:
“iya…Lufi ga cemberut lagi..tapi nanti ajari Lufi lagu Potong Bebek Angsa ya…” begitulah jawaban Lufi dengan penuh harapan Aldin mau mengajarinya.
Pada hari pertama sekolah, Lufi cukup beruntung memiliki kawan seperti Aldin yang mau mengajarinya bernyanyi, ada Makmur yang pertama mengajarinya menghitung lidi. Tak hanya itu, ada Munzir, Nawar serta Munir yang selalu membuatnya tertawa, Surya yang sedikit agak pendiam juga selalu menjadi kawan baik bagi Lufi saat waktu istirahat tiba. Hal lain yang membuat Lufi sedikit lebih ceria adalah dia selalu bisa curi-curi pandang ke arah samping kanannya, di sana terlihat ada Anita dan Nazira yang terlihat tekun mengikuti pelajaran. Sampai pada saat lonceng berbunyi tiga kali, pertanda waktu pulang sudah tiba, Lufi pun sudah terlihat ceria dan ayahnya yang dari tadi pagi sudah menunggu juga ikut ceria. Ayahnya pun segera mengambil sepeda ontel yang tadi diparkirkan di samping pagar sekolah, Lufi pun diboncengi di belakangnya. Dengan penuh semangat ayahnya kembali mengayuh pedal sepeda ontelnya untuk menuju ke rumah yang berjarak 0,5 km dari sekolah.