Selasa, 06 Juli 2010

Bocah yang Susah Diajak Untuk Sekolah


Wajah lugu begitu jelas terlihat dari seorang bocah laki-laki yang berumur lima tahun setengah itu. Bocah pemalu yang berkulit hitam, badannya kurus, rambut lurusnya terlihat begitu lusuh dan teracak-acak bagai seminggu tidak pernah disisir. Dialah Lufias yang sehari-hari menghabiskan waktunya dengan bermain-main sesama kawan-kawan seumurannya. “Lufi” begitulah biasa dia dipanggil, hampir tiap hari tidak pernah ketinggalan bermain petak umpet, main kelereng, main galah maupun permainan anak-anak lainnya.

Kadang-kadang sambil bermain, sesekali Lufi menoleh ke tempat ibunya berjualan di kantin sebuah sekolah dekat rumahnya. Di sanalah tempat ibunya sehari-hari mengais rezeki, sedangkan ayahnya hanyalah pekerja serabutan, kadang ada kadang tiada sama sekali kerjanya. Walaupun demikian orang tuanya tidak patah arang dalam mendidik anaknya untuk sukses dan mengecap ilmu pengetahuan setinggi-tingginya mulai dari bangku sekolah sampai ke perguruan tinggi. Hanya Lufi yang belum mengenal bangku sekolah, beda dengan kawannya yang dari keluarga berada, mereka sudah duduk di bangku TK. Sedangkan kakak Lufi sudah kelas IV SD dan abangnya sudah kelas XI SMA.

Lufi sedikit beda dari kawan-kawannya, dia lugu dan sedikit penakut. Waktu umurnya baru menginjak 6 tahun, orang tuanya ingin mendaftarkannya ke bangku sekolah dasar. Sampai suatu pagi hari ayah Lufi mengajaknya:

“nak…besok kamu ayah daftar di SD ya…”

Ibu Lufi yang saat itu sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi, serta menyiapkan berbagai macam kue untuk barang dagangannya di kantin sekolah juga turut mengajak Lufi:

“iya, benar kata ayah,,Lufi besok harus daftar di SD,,kamu kan sudah gede,,”

Dengan wajah sedikit cemberut Lufi begitu lantang dan keras bersuara:

“ enggaaaaaaaaaaakkkkkkk….Lufi ga mau sekolah…walaupun ayah maksa, Lufi tetap ga mauuuu…”

Begitulah jawaban Lufi saat ayah mengajaknya untuk sekolah. Mungkin dia belum mengetahui betapa mulianya niat sang ayah kepada anaknya. Lufi belum mengetahui betapa pentingnya menuntut ilmu, yang kelak sangat berguna dalam kehidupan di masa depannya. Tanpa marah dan kesal, ayahnya membelai kepala Lufi dan mengelusnya, sambil bertanya:

“Lufi mau pintar seperti B.J.Habibie nggak?”

Sambil sedikit bingung dengan pandangan menerawang ke atap rumahnya yang penuh dengan jaring-jaring spiderman. Mungkin dia lagi berfikir track recordnya seorang B.J.Habibie yang saat itu menjabat sebagai Menristek di bawah kabinet pembangunan era presiden Soeharto pada masa Orba. Sejenak setelah pandangannya menerawang, lantas Lufi menjawab:

“alaaa….pokoknya nggakk, Lufi ga mau sekolah…”

Ternyata jawaban Lufi masih sama seperti yang tadi, dia tetap pada prinsipnya tidak mau sekolah. Ayahnya pun tidak mau memaksanya lagi, karena tidak ingin membuat Lufi menangis. Sambil mengelus kepala Lufi, ayahnya pun beranjak mengambil makanan yang telah di siapkan oleh ibu Lufi dan menyantapnya sebagai sarapan pagi. Setelah itu ayahnya bergegas mengambil peralatan cangkul yang berada tapat di samping pintu belakang rumah dan pergi menuju pematang sawah, sedangkan ibunya setelah menyiapkan sarapan langsung menjajakan dagangannya di kantin sekolah dekat rumah untuk mendapatkan penghasilan tambahan.Hari terus berlalu bulan terus berganti, sampai pada suatu saat di bulan Agustus 1994, pada saat itu perayaan HUT RI ke-49 hampir dekat. Ibu Lufi kembali mengajaknya untuk mau sekolah, tapi Lufi tetap pada pendiriannya dia tidak mau sekolah. Berbagai cara maupun bujuk rayu telah dilakukan oleh orang tua Lufi.

Menjelang perayaan HUT RI ke-49 berbagai persiapan terus dilakukan mulai dari gotong royong masal sampai latihan pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) anak tingkat SMA yang dilatih oleh anggota koramil setempat. Seperti biasa, sebelum melatih paskibraka para anggota koramil rutin melakukan jogging di sepanjang jalan dekat rumah Lufi, kebetulan rumah Lufi terletak dipinggir jalan menuju ke arah ibukota kecamatan. Sampai pada suatu pagi hari terlihat beberapa anggota koramil melakukan jogging, satu diantara mereka terlihat begitu garang wajahnya, kulitnya hitam legam, berambut cepat dan berperawakan tinggi besar. Ibu Lufi yang tadinya begitu susah membujuk Lufi untuk sekolah, setelah melihat anggota koramil yang jogging pada pagi hari itu langsung timbul sebuah ide untuk mempengaruhi Lufi agar mau sekolah.

“Lufi…kamu mau sekolah nggak??”

Begitulah ajakan yang dilontarkan Ibunya untuk mengajak Lufi supaya mau bersekolah. Seperti biasa Lufi membalas dengan jawaban seperti dulu-dulu yang pernah dia ucapkan.

“kan Lufi sudah bilang pada Ayah ma Ibu,,bah Lufi ga mau sekolah….”

Setelah mendengar jawaban Lufi yang terlihat begitu kesal, lantas ibunya langsung mempergunakan situasi pagi hari itu. Sambil membuka pintu depan rumah, Ibunya menunjukkan ke arah depan rumah, di situ sudah terlihat anggota koramil yang tadi sedang jogging sedang beristirahat sambil ngobrol-ngobrol sesama anggotanya. Langsung saja Ibunya berkata:

“kalau Lufi ga mau sekolah, nanti Ibu kasih sama tentara itu biar kamu dibawa sama mereka…mau nggak Lufi sekolah?”

Wajah memucat mendadak keliahatan di rona wajah Lufi, matanya yang bulat terbelalak melototi anggota koramil yang terlihat garang tadi, keringatnya pun terlihat sudah sedikit muncul di bagian alis matanya. Tanpa disadari ketakutan Lufi muncul, dia bukan takut pada ancaman Ibunya, melainkan takut melihat wajah garang anggota koramil yang tadi. Dengan perasaan yang penuh dengan ketakutan Lufi menjawab:

“Lu..Lu..Lufi mau sekolah Bu..mulai besok Lufi akan sekolah..”

Dengan wajah tersenyum Ibunya langsung memeluk Lufi, inilah moment yang sangat ditunggu-tunggu oleh orang tua Lufi. Beberapa bulan dibujuk Lufi tetap tidak mau sekolah, toh pada akhirnya dengan adanya anggota koramil yang jogging dipagi hari Lufi langsung membulatkan tekatnya untuk sekolah. Setelah memeluk Lufi sekitar beberapa menit, Ibunya langsung ke dalam rumah dan membuka lemari untuk melihat baju putih serta celana merah bekas abang Lufi dulu untuk dipakai kembali oleh Lufi biar bisa bersekolah besok.

Keesokan pagi harinya, Lufi sudah terlihat memakai baju putih tapi sudah sedikit kekuningan dipadu dengan celana merah pendek yang terlihat bekas tempelan di belakangnya. Itulah awal mula Lufi menjadi anak sekolahan. Ayah Lufi pada pagi itu juga lagi mempersiapkan alat transportasi untuk mengantarkan Lufi ke sekolah. Ayahnya membersihkan sepeda ontelnya yang dulu jarang dibersihin, begitu bersemangatnya seorang ayah yang mau mengantarkan anaknya untuk didaftarkan di sebuah sekolah. Setelah siap semuanya, Lufi pun di boncengi di belakang sepeda ontel ayahnya. Wajah Lufi saat itu sedikit agak cemberut, tidak jelas kenapa pada pagi itu dia begitu murung. Lufi bersalaman dengan Ibunya dan Ibunya pun mencium Lufi di keningnya sambil berkata “jadilah orang yang pintar ya nakk…”. Sambil melambai-lambai tangan ke arah istrinya, Ayah Lufi mengayuh sepeda ontelnya dan bergegas menuju sekolah yang di tuju, Ibu Lufi pun terus memandang anaknya dengan penuh harapan anaknya kelak menjadi orang yang sukses serta berguna bagi nusa dan bangsa.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.